Kilas Balik 2023: Penyebaran Zoonosis di Indonesia Jadi Alarm akan Risiko Perambahan Alam

January 3, 2024

Page Banner
Perdagangan satwa liar akan menyebabkan lebih banyak spesies akan bersentuhan. Hal ini akan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit di antara mereka.. Foto: Anthony Rosa/Unsplash 

Mengenang satu peristiwa di 2023 lalu, dimana Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran tentang peningkatan kewaspadaan terhadap mpox (monkeypox) pada tanggal 18 Oktober 2023. Monkeypox merupakan salah satu penyakit zoonosis. Dalam penyebarannya, zoonosis berasal dari hewan yang dapat menular ke manusia, meskipun biasanya penyakit ini terbatas di wilayah Afrika, namun bukti terkini penyakit ini sudah mulai merebak di Indonesia.

Setelah mengalami pandemi flu babi pada tahun 2009 dan COVID-19 pada tahun 2019, pada tahun 2023 kita dihadapkan oleh penyakit monkeypox. Hal ini dapat menjadi peringatan bagi kita semua terhadap dampak kerusakan hutan atau peningkatan interaksi manusia dengan satwa, yang memicu penyebaran penyakit, baik yang sudah dikenal maupun yang masih belum teridentifikasi. Bagaimana hal ini bisa berkaitan? Mari kita simak penjelasan berikutnya.

 

Apa itu zoonosis dan cacar monyet?

Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia. Salah satu contoh zoonosis yang sedang diperbincangkan akhir-akhir ini adalah monkeypox. Monkeypox adalah sebuah virus yang termasuk dalam keluarga Poxviridae dan genus Orthopoxvirus, yang juga mencakup penyakit seperti cacar sapi dan cacar air. Virus ini memiliki dua jenis, satu berasal dari Afrika Barat dan yang lainnya berasal dari Lembah Kongo (Likos, 2005). Meskipun monkeypox pertama kali diidentifikasi pada seekor monyet, virus ini lebih sering ditularkan oleh hewan pengerat seperti mencit, tikus, dan tupai. 

Sejarah monkeypox di Afrika memiliki pola wabah yang timbul dari waktu ke waktu, terutama di wilayah Afrika Barat dan Tengah. Penularan terutama terjadi melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi. Namun, kasus-kasus monkeypox di luar Afrika sangat jarang terjadi.

Falendysz dkk (2015;2017) menyebutkan salah satu wabah monkeypox yang signifikan di luar Afrika terjadi pada tahun 2003 di Amerika Serikat, ketika lebih dari 70 kasus terjadi. Penularan pada saat itu terkait dengan impor hewan eksotik seperti tikus raksasa Gambia, Gambian pouched rat (Cricetomys gambianus) dan tupai afrika, African rope squirell (Funisciurus sp.) yang dijadikan sebagai hewan peliharaan, dan virus monkeypox dibawa oleh hewan-hewan tersebut.

Kasus monkeypox pertama di Inggris terjadi pada tahun 2018 setelah seorang individu melakukan perjalanan dari Nigeria ke Plymouth. Meskipun ada tiga kasus tambahan yang dilaporkan pada tahun berikutnya, virus tersebut tidak menyebar secara signifikan di Inggris.

Namun, situasinya berubah pada tahun 2022 ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan monkeypox sebagai darurat kesehatan internasional. Sebulan kemudian, pada Agustus 2023, kasus monkeypox pertama di Indonesia dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan, dan hingga tanggal 30 Oktober 2023, terdapat 27 pasien terkonfirmasi.

Sejak Mei 2022, outbreak terbesar dari monkeypox terjadi menyebabkan 102 negara terdampak diluar dari daerah endemik, pertanggal 27 oktober 2023 menurut CDC ada 91.328 kasus terkonfirmasi, dan 55 kematian yang disebabkan oleh monkeypox telah terjadi di AS. 

Tikus berkantong raksasa Gambia merupakan salah satu tersangka pembawa cacar monyet. Foto: Louisvarley

Apa kaitannya cacar monyet dengan hilangnya keanekaragaman hayati?

Cacar monyet dan masalah hilangnya keanekaragaman hayati memiliki hubungan yang penting dalam konteks penyakit zoonosis. Setiawan (2022) menyebutkan ada lebih dari 1,8 juta spesies flora dan fauna yang ada di dunia, sebagian besar lainnya masih belum ditemukan dan dideskripsikan oleh ilmuwan. Sebagian besar dari spesies ini mungkin berada dalam radius jangkauan kita, tetapi sebagian lainnya berada di wilayah yang belum terjelajahi atau bahkan tidak dapat diakses oleh manusia.

Dengan terus merambah dan merusak habitat alam, maka kemungkinan untuk berinteraksi dengan spesies-spesies baru semakin tinggi. Spesies-spesies yang baru ditemukan ini mungkin membawa virus dan bakteri, bisa jadi memiliki potensi untuk menyebabkan penyakit yang sebelumnya tidak pernah dijumpai oleh manusia. Meskipun penyakit-penyakit ini mungkin telah beredar secara alami di lingkungan selama bertahun-tahun, campur tangan manusia dapat menyebabkan penyakit ini berpindah dari hewan ke manusia, yang dikenal sebagai penularan silang antar spesies (zoonosis).

Contoh nyata dari hal ini bisa kita pelajari dari kasus COVID-19 dan virus Ebola, keduanya berasal dari hewan liar. Dalam kedua kasus ini, aktivitas manusia seperti merusak hutan atau mengonsumsi hewan liar dianggap sebagai pendorong bagi penyakit ini untuk melintasi batasan spesies dan menular ke manusia.

Cacar monyet, sebagai contoh lainnya, diyakini berasal dari hutan hujan di Afrika bagian barat dan tengah. Jika kita lihat, setiap tahun ada lebih dari 500 kilometer persegi hutan hujan, atau sekitar setengah dari luasan Pulau Tahiti hilang akibat deforestasi berdasarkan laporan Cannon (2018). Ini tidak hanya menghilangkan habitat bagi berbagai spesies hewan, tetapi juga meningkatkan kemungkinan kontak manusia dengan hewan-hewan yang potensial membawa penyakit.

Deforestasi juga berdampak pada perubahan iklim, yang pada gilirannya dapat memengaruhi penyebaran penyakit zoonosis. Perubahan iklim, seperti kenaikan suhu, mendorong hewan untuk beradaptasi dan berpindah ke wilayah-wilayah yang lebih dekat dengan pemukiman manusia, meningkatkan risiko penularan penyakit.

Studi dari Gilbert (2022) memperkirakan bahwa lebih dari 15.000 penyakit zoonosis mungkin akan menular ke spesies lain dalam 50 tahun ke depan akibat kenaikan suhu global. Selain itu, perdagangan internasional tanaman dan hewan serta memelihara satwa liar juga dapat membawa penyakit-penyakit ini ke wilayah-wilayah baru yang jauh melampaui jangkauan alaminya seperti yang terjadi di AS.

Melawan penyakit zoonosis bukanlah tugas yang mudah, tetapi langkah-langkah pencegahan yang tepat dapat sangat membantu. Salah satu cara pencegahan yang paling sederhana adalah mengurangi peluang kontak antara manusia dan hewan. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi perusakan hutan dan mempertahankan keanekaragaman hayati dengan menciptakan lebih banyak kawasan lindung menurut Terraube dan Fernández-Llamazares (2020).

Pemantauan terhadap populasi manusia dan satwa liar juga menjadi langkah penting. Hal ini dapat membantu dalam mendeteksi tanda-tanda awal penyebaran penyakit zoonosis yang baru. Dengan pemantauan yang baik, organisasi kesehatan masyarakat dapat segera mengambil tindakan pencegahan untuk mencegah wabah menjadi pandemi.

Paul dan Soltis (2020) menambahkan mempelajari masa lalu juga dapat memberikan pandangan berharga. Penelitian terhadap spesimen yang tersimpan di museum dan koleksi sejarah alam di seluruh dunia dapat membantu ilmuwan memahami bagaimana penyakit dan populasi hewan berubah seiring waktu, membantu dalam upaya untuk mengantisipasi perkembangan yang mungkin terjadi di masa depan.

Secara keseluruhan, langkah-langkah ini, termasuk menjaga habitat alam dan keanekaragaman hayati, pemantauan, dan penelitian, merupakan bagian dari upaya yang diperlukan untuk membantu manusia mempersiapkan diri menghadapi penyakit yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan menjaga keseimbangan lingkungan hidup.

Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Fajrin Shidiq, S.Pt., M.Agr.Sc. (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dalam program magang NGO di Lembaga JAWI Indonesia

 


Referensi

Canon J (2018) Oil palm, rubber could trigger ‘storm’ of deforestation in the Congo Basin. Tersedia di: https://news.mongabay.com/2018/03/oil-palm-rubber-could-trigger-storm-of-deforestation-in-the-congo-basin/ [diakses tanggal 26 Oktober 2023]

CDC. Monkeypox. 2022 Outbreak Cases and Data. Tersedia di: https://www.cdc.gov/poxvirus/mpox/response/2022/index.html [diakses tanggal 27 Oktober 2023].

Falendysz EA, Lopera JG, Lorenzsonn F, Salzer JS, Hutson CL, et al. (2015) Further Assessment of Monkeypox Virus Infection in Gambian Pouched Rats (Cricetomys gambianus) Using In Vivo Bioluminescent Imaging. PLOS Neglected Tropical Diseases 9(10): e0004130. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0004130

Falendysz EA, Lopera JG, Doty JB, Nakazawa Y, Crill C, et al. (2017) Characterization of Monkeypox virus infection in African rope squirrels (Funisciurus sp.). PLOS Neglected Tropical Diseases 11(8): e0005809. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0005809

Gilbert N (2022) CLIMATE CHANGE WILL BOOST ANIMAL MEET-UPS— AND VIRAL OUTBREAKS. Nature 605.

Likos AM (2005) A tale of two clades: monkeypox viruses. Journal of General Virology 86: 2661–2672. pmid:16186219

Paul DL, Soltis PS (2020) Progress Out of a Pandemic: Global collections, data sharing, and changing standards of practice. Biodiversity Information Science and Standards 4: e59268. https://doi.org/10.3897/biss.4.59268

Setiawan A (2022) Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Masalah dan Upaya Konservasinya. Indonesian Jurnal of Consevation. https://doi.org/ 10.15294/ijc.v11i1.34532

Terraube, J., & Fernández-Llamazares, Á. (2020). Strengthening protected areas to halt biodiversity loss and mitigate pandemic risks. Current opinion in environmental sustainability, 46, 35–38. https://doi.org/10.1016/j.cosust.2020.08.014

Taggedmonkeypoxsatwazoonosis


Comment