Kucuran Dana Hijau 20 Triliun: Angin Segar untuk Masa Depan Hijau Indonesia?

December 11, 2024

Page Banner

COP ke-29 telah selesai dilaksanakan dan Indonesia berhasil mengamankan pendanaan hijau senilai €1,2 miliar untuk pembangkit listrik ramah lingkungan.

***

Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lebih dikenal sebagai Conference of the Parties (COP) ke-29 telah selesai dilaksanakan di Baku, Azerbaijan pada (22/11) lalu. Agenda ini menjadi sebuah agenda rutin tahunan yang diselenggarakan oleh KTT PBB untuk pembahasan perubahan iklim, yang mana persoalan iklim terus menjadi isu global yang mendesak untuk diselesaikan.

Banyak poin yang dihasilkan dalam penyelenggaraan COP ke-29 ini, namun salah satu yang disoroti adalah Indonesia mengumumkan kesepakatan pendanaan hijau dengan bank milik Jerman, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW). Nilai yang didapat tentu tidak main-main, dalam kesepakatan ini Indonesia mendapat dana hijau sebesar €1,2 miliar atau kira-kira sekitar 20 triliun rupiah. Dikutip dari ESG News, kemitraan ini dikukuhkan melalui Nota Kesepahaman (MoU) yang ditandatangani oleh PT PLN (Persero) dan KfW, dengan fokus pada pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pumped Storage dan jaringan transmisi untuk menghubungkan pembangkit listrik ramah lingkungan.

Perwakilan Indonesia dan Jerman saat COP ke-29 (Sumber: ESG News)

“Kami akan menjadi negara besar yang akan memenuhi tanggung jawab dalam menjaga masa depan lingkungan. Kami sangat mengapresiasi kerja sama internasional yang telah terjalin sebagai bentuk upaya bersama mencapai target Net Zero Emissions (NZE),” ucap Hashim Djojohadikusumo, utusan khusus presiden RI untuk memimpin delegasi Indonesia pada COP-29 melalui siaran pers yang diterima Katadata. Ngomong-ngomong soal NZE, Pemerintah Indonesia memiliki target untuk mencapai kondisi NZE pada tahun 2060 atau lebih awal. PLN, melalui websitenya juga turut menegaskan bahwa dana ini digunakan sebagai pembiayaan proyek transisi energi di Indonesia serta studi keberlanjutan sosial dan lingkungan.

Apa itu Net Zero Emissions dan kenapa kita membutuhkan banyak biaya untuk mencapai target NZE?

Net Zero Emissions (NZE) adalah kondisi di mana jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan ke atmosfer sebanding dengan jumlah emisi yang dihilangkan atau diserap dari atmosfer, sehingga tidak ada tambahan emisi bersih yang masuk ke udara. Hal ini diartikan semua emisi yang dihasilkan oleh manusia, baik dari sektor energi, transportasi, industri, dan lainnya, harus seimbang dengan upaya pengurangan emisi. Misalnya, melalui teknologi penangkapan karbon, penanaman pohon, atau penggunaan energi terbarukan.

Kenapa membutuhkan biaya besar untuk mencapai NZE?

  1. Upaya menggantikan energi fosil dengan sumber energi terbarukan seperti angin, matahari, atau hidrogen, membutuhkan investasi besar dalam infrastruktur, teknologi, dan pengembangan sistem energi yang lebih bersih.
  2. Banyak industri (seperti manufaktur, transportasi, dan pertanian) bergantung pada proses yang menghasilkan emisi karbon. Untuk mengurangi emisi, mereka perlu berinvestasi dalam teknologi baru atau mengubah cara produksi mereka, yang sering kali memerlukan biaya yang signifikan.
  3. Teknologi yang mendukung NZE, seperti teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) atau kendaraan listrik, masih memerlukan riset, pengembangan, dan adopsi massal, yang membutuhkan dana besar.
  4. Selain sektor industri dan energi, NZE juga memerlukan perubahan dalam infrastruktur transportasi, bangunan, dan sistem pengelolaan limbah. Proses ini tidak hanya membutuhkan biaya material, tetapi juga membutuhkan perubahan perilaku dan kebijakan sosial yang membutuhkan pendanaan.

Secara keseluruhan, biaya besar ini muncul karena perubahan mendalam yang diperlukan untuk menggantikan sistem yang sudah ada dan mengembangkan solusi yang dapat mengurangi emisi secara signifikan dalam waktu singkat.

Fakta Menarik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Pumped Storage

Kabar ini tentu membawa gelombang optimisme bagi masa depan energi Indonesia, terkhususnya dalam mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil. Apalagi, megaproyek PLTA Pumped Storage menjadi salah satu cara PLN untuk mendukung pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Dikutip dari , General Manager PLN UIP JBT, Djarot Hutabri EBS sempat menyampaikan bahwa pendanaan ini dibuat untuk mendorong transisi energi dan dekarbonisasi guna mencapai target NZE. Pembangkit listrik pertama yang menggunakan teknologi ini, telah dibangun pada tahun 2022 dan diklaim menjadi PLTA terbesar dengan daya penyimpanan sebesar 1040 mega watt. Namun, di balik antusiasme ini, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: Bagaimana dengan dampaknya terhadap lingkungan?

Pembukaan lahan saat pembangunan PLTA Upper Storage di Cisokan (sumber: Prima Mulia/Tempo)

Berdasarkan Executive Summary Upper Cisokan Pumped Storage Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) 2021 yang diterbitkan oleh World Bank, total luas lahan yang dibutuhkan untuk proyek ini sebesar 731,76 Ha. Lebih spesifik lagi, mayoritas lahan yang digunakan berasal dari hutan negara yaitu sebesar 409 ha. PLN mendapat luasan areal ini melalui skema Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang terbit di tahun 2016. Sayangnya, yang namanya pembangunan pasti akan memiliki dampak bagi lingkungan. Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Jawa Barat yang dikutip melalui Bandung Bergerak menyayangkan hal tersebut. Pasalnya, hingga tahun ini masalah lahan kompensasi untuk hutan yang digunakan sebagai wilayah pembangunan proyek strategis nasional PLTA Upper Storage di Cisokan belum sepenuhnya selesai. Berdasarkan aturan IPPKH yang digunakan dalam proyek ini, PLN berkewajiban untuk menyediakan 818 hektare lahan untuk kompensasi lahan.

Sebuah kekhawatiran tentang hal ini juga muncul dari rilis yang diterbitkan oleh WALHI Indonesia dengan judul “Indonesia Berdagang Krisis Iklim Pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29)”. WALHI menilai percepatan pengembangan EBT melalui kerangka bisnis energi akan terus menimbulkan konsekuensi atas lingkungan, terutama pada aspek kepemilikan lahan.

Poin-Poin Hasil COP 29

Dikutip dari TEMPO, konferensi ini juga menghasilkan 10 seruan yang menyoroti peran penting air dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan mendorong kerja sama lintas negara untuk mengatasinya. Isu utama yang dibahas dalam COP29 yaitu air yang menjadi pusat aksi iklim. Adapun poin-poin seruan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

  1. Air sebagai isu utama dalam COP29 dan adanya penegasan akan perlunya perlindungan dan restorasi sumber daya air
  2. Pentingnya adanya kemitraan dan kolaborasi antarnegara dari tingkat internasional hingga tapak dalam pengamanan isu air dalam kebijakan global
  3. Penguatan riset tentang dampak perubahan iklim terhadap siklus air
  4. Desain kebijakan iklim nasional harus mengedepankan air menjadi isu penting
  5. Pentingnya pendekatan yang berbasis ekosistem/alam, seperti nature-based solution
  6. Pentingnya penanganan bencana yang disebabkan oleh air, seperti banjir
  7. Peluncuran platform kolaborasi antar-COP, berupa Dialog Baku untuk memastikan aksi iklim terkait air berjalan semestinya
  8. Adanya kemudahan akses pendanaan global untuk mengatasi kelangkaan ataupun bencana yang berhubungan dengan air
  9. Pentingnya perlindungan terjadap keanekaragaman hayati, berupa ekosistem air tawar ataupun pesisir yang masuk ke dalam pengelolaan air
  10. Komitmen pada tujuan SDGs ke-6, terkait air bersih dan sanitasi melalui kolaborasi antarsektor

Pendanaan hijau sebesar Rp20 triliun dari KfW yang diumumkan di COP-29 tentu menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk mendukung visi global ini. Namun, “udara segar” ini hanya akan benar-benar terasa jika dana tersebut dikelola dengan transparansi dan diawasi secara ketat.

 

Referensi

Aprilianto, R. A., & Ariefianto, R. M. (2021). Peluang dan tantangan menuju net zero emission (NZE) menggunakan variable renewable energy (VRE) pada sistem ketenagalistrikan di Indonesia. J. Paradig2(2), 1-13.

Bandung Bergerak. (2024). Pegiat lingkungan Jawa Barat menagih hutan yang hilang di Cisokan. Diakses pada 27 November 2024, dari https://bandungbergerak.id/article/detail/159309/pegiat-lingkungan-jawa-barat-menagih-hutan-yang-hilang-di-cisokan Tempo. (2024). Catatan KTT COP29: Ada 10 langkah untuk menangani masalah perubahan iklim. Diakses pada 27 November 2024, dari https://www.tempo.co/sains/catatan-ktt-cop29-ada-10-langkah-untuk-menangani-masalah-perubahan-iklim-1172700

ESG News. (2024). Indonesia, Germany invest €1.2 billion green funding for clean energy development. Diakses pada 9 Desember 2024, dari https://esgnews.com/indonesia-germany-invest-e1-2-billion-green-funding-for-clean-energy-development/

Tempo. (2024). Catatan KTT COP29: Ada 10 langkah untuk menangani masalah perubahan iklim. Diakses pada 27 November 2024, dari https://www.tempo.co/sains/catatan-ktt-cop29-ada-10-langkah-untuk-menangani-masalah-perubahan-iklim-1172700

Warta Ekonomi. (2022). PLN bangun PLTA pumped storage pertama dan terbesar di Indonesia berkapasitas 1.040 MW. Diakses pada 27 November 2024, dari https://wartaekonomi.co.id/read402402/pln-bangun-plta-pumped-storage-pertama-dan-terbesar-di-indonesia-berkapasitas-1040-mw

WALHI. (2024). Indonesia berdagang krisis iklim pada Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa COP29. Diakses pada 27 November 2024, dari https://www.walhi.or.id/indonesia-berdagang-krisis-iklim-pada-konferensi-perubahan-iklim-perserikatan-bangsa-bangsa-cop29

World Bank. (2021). Ringkasan Eksekutif ESIA: Pengembangan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air Pumped Storage di Sistem Jawa-Bali (Proyek P172256) [Dokumen]. Diakses pada28 November, dari https://documents1.worldbank.org/curated/en/911391621859350094/pdf/ESIA-Executive-Summary-Bahasa-Indonesia-Development-of-Pumped-Storage-Hydropower-in-Java-Bali-System-Project-P172256.pdf

 

 

TaggedCOP 29dana hijauNet Zero Emissions


Comment